Salah Kaprah Kebijakan Zero Styrofoam

Oleh: Nurhidayat

Gerakan Pemerhati Sampah Plastik, Styrofoam & Limbah

Seperti yang kita tahu, kata styrofoam kembali mencuat di pelbagai media massa, pasca-munculnya larangan penggunaan styrofoam di lingkungan Kota Bandung per 1 November 2016, oleh Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.

Styrofoam adalah sebuah merek dagang pabrik Dow Chemicals yang mengacu pada Polystyrene Foam (PS Foam). Namun, dalam tulisan ini saya akan menggunakan istilah “styrofoam” agar mudah di pahami oleh pembaca.

Berdasarkan kajian yang kami lakukan terhadap kebijakan walikota Bandung yang menghimbau pelarangan styrofoam (Zero Styrofoam). Kami melihat bahwa kebijakan ini salah Kaprah, kurang teliti dan berpotensi terhadap penurunan daya beli masyarakat kecil. Berikut poin-poin yang ingin kami sampaikan:

1. Styrofoam Lebih Murah Dan Efisien

Coba bandingkan kemasan styrofoam dengan kemasan makanan lainnya, menggunakan styrofoam jauh lebih murah dan efesien. Sebagai contoh, styrofoam dengan ukuran standar hanya dibanderol Rp 320/pcs. kemasan terbuat dari plastic (mika) dibanderol harga Rp. 650/pc, sedangkan kemasan berbahan dasar kertas dibanderol dengan harga Rp 1650/pcs. Terbukti, dengan adanya pelarangan styrofoam, pedagang kecil di Bandung harus menaikkan harga 1000 s/d 2000 rupiah.

Baca: http://www.bbc.com/indonesia/majalah-37848869

2. Styrofoam Sebenarnya  Aman Bagi Kesehatan.

Salah satu poin pelarangan pada surat edaran adalah karena karena styrofoam merupakan kemasan plastik berbahan polimer yang dinilai sangat berbahaya untuk kesehatan. Karena dianggap mengandung residu monomer stirena yang jika  menguap bisa menyebabkan kanker. 

Padahal Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia dalam penelitianya mulai 2009 hingga sekarang bahwa menurut JECFA-FAO-WHO Monomer Stiren tidak mengakibatkan gangguan kesehatan jika residunya tidak melebihi 5000 ppm. Sedangkan Monomer Stiren yang terkandung di dalam styrofoam pembungkus makanan yang beredar di Indonesia hanya sekitar 10-40 ppm. Bahkan ada yang tidak terdeteksi kandungan Monomer Stiren, artinya aman untuk digunakan.

3. Styrofoam Aman Ramah Lingkungan

Salah satu alasan lainnya yaitu berkaitan dengan tingginya produksi sampah styrofoam dan bahannya yang dinilai tidak terurai sehingga dapat mencemari lingkungan dan menyebabkan banjir.

Ini menurut kami salah kaprah dan tidak bijak, alih-alih melakukan pengelolaan sampah secara profesional, pemkot Bandung justru menjadikan styrofoam sebagai kambing hitam.

Padahal apabila mencontoh di negara-negara maju sampah Styrofoam masih bisa didaur ulang menjadi barang yang bernilai. Bahkan di Yogyakarta sudah ada kerajinan yang bahan bakunya dari Styrofoam. 

Tidak hanya itu, di Indonesia juga sudah ditemukan styrofoam yang disebut Oxodegradable Polystyrene, yang lebih ramah lingkungan dengan tambahan oxium, membuat styrofoam bersifat oxodegradable dan cepat terurai dalam waktu lebih-kurang empat tahun.

baca: http://sains.kompas.com/read/2011/04/27/07552620/Styrofoam.Ini.Ramah.Lingkungan

4.Kemasan Polystyrene Foam (PS FOAM) tahan pada suhu apapun

Makanan panas tetap panas, makanan dingin tetap dingin, makanan segar tetap segar. Dari buah, sayuran organik, bubur, hingga seblak. Kemasan Polystyrene Foam lebih nyaman dan murah bagi orang-orang di mana saja.

Oleh karena itu himbauan untuk tidak menggunakan styrofoam tidaklah bijak, sebab akan berpengaruh cukup besar terhadap daya beli masyarakat, sedangkan isu yang beredar tentang masalah kesehatan  tidak sepenuhnya benar.  

Adapun untuk masalah sampah dan lingkungan  solusinya adalah dengan menggunakan styrofoam yg cepat terurai,  yang tentunya dibarengi dengan tata kelola sampah (waste management)  yang baik dari pemerintah dibarengi dengan kesadaran masyarakat terhadap masalah sampah dan kebersihan lingkungan.

Sebarkan…!!!

Pemahaman Keliru Tentang Polystyrene foam

Secara resmi penggunaan Polystyrene foam atau lebih dikenal dengan nama Styrofoam untuk kemasan makanan akan dilarang di Kota Bandung, Jawa Barat mulai awal November lalu. Bahkan pelarangan Styrofoam itu dilakukan melalui Surat Edaran (SE) dengan nomor 658.1/SE.117-BPLH/2016. Dalam surat itu salah satu alasan mendasar dilarangnya Styrofoam dikarena plastik berbahan polimer itu dinilai sangat berbahaya untuk kesehatan. 

Tentu saja ini merupakan pemahan yang salah tentang kemasan makanan bernama Styrofoam tersebut. Terlebih menyamakan Styrofoam dengan Benzena, meski Benzene salah satu unsur yang ada di dalam pembuatan Styrofoam. Seperti diberitakan oleh elshinta.com, mereka yang melarang penggunaan Styrofoam menyebutkan kandungan benzena yang disebut salah satu bahan karsinogenik yaitu bahan yang bisa memicu sel kanker. Bahan itu dianggap bisa memicu sistem kerja hormon badan. 

“Bahan ini berbahaya karena terbuat dari butiran-butiran styrene, yang diproses dengan menggunakan benzane. Dibeberapa kasus, benzena bahkan bisa mengakibatkan hilang kesadaran dan kematian,” terang Salah satu murid SMAN 12 Kota Bandung, Abdurrahman, seperti dikutip dari elshinta online, pada bulan lalu.

Padahal sejatinya benzene yang ada di dalam Styrofoam tidak bereaksi dan tidak berdampak negatif untuk kesehatan. Itu karena residunya tidak melebihi 5000 ppm, sementara Styrofoam hanya residu sekitar 0-43 ppm saja, artinya aman untuk digunakan. Polystyrene tidak sama dengan Styrene, dan Polystyrene juga tidak sama dengan Benzene. Atau bubur tidak sama dengan beras, kendati bubur terbuat dari beras. Sebab tahapan pembuatan Styrofoam berlaku irreversible. artnya Polystyrene ataupun Styrofoam tidak bisa dikembalikan menjadi Benzene, Naptha dan juga LPG.

Proses Pembuatan Styrofoam

Meski bahan dasar Polystyrene  adalah Naptha LPG, dan bahan baku lainnya. Tapi, PSFoam yang ada disekitar kita sudah melalui beberapa tahap proses dehidrogenasi dalam proses pembentukannya. Dehidrogenasi merupakan reaksi penghilangkan kandungan hidrogen dalam bahan baku napta, LPG, dan bahan baku lainnya membentuk senyawa aromatik dan membentuk benzena. Kemudian benzene yang dihasilkan ditambahkan dengan etilena dengan proses dehidrogenasi membentuk etil benzene. Setelah itu etil benzena didehidrogenasi menjadi stirena lalu stirena-stirena yang dihasilkan dilakukan proses penggabungan (polimerisasi) pada suhu tinggi membentuk Polystyrene.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia sendiri telah melakukan sampling dan pengujian terhadap 17 jenis kemasan makanan Styrofoam. Hasilnya, pengujian menunjukan bahwa semua kemasan tersebut memenuhi syarat. Tidak heran apabila tidak satu pun yang melarang penggunaan Styrofoam dengan pertimbangan kesehatan.

 

sumber: www.psfoamaman.com

By | 2017-12-18T23:53:59+00:00 December 13th, 2017|News & Events|